07
Ketika Cinta-Mu Menyapa
Karya : Al-Khansa’( Binta Fadhilatul Ningrum)
“I love you too.” Siang itu, untuk yang ke empat kalinya aku menerima pernyataan cinta dari teman sekelasku, sebut saja Faiq. Aku berharap dia yang terakhir untukku. Aku tidak ingin gonta-ganti pasangan, sedangkan aku masih duduk di bangku SMA. Akulah Icha. Satu-satunya gadis berjilbab di kelas XI IPA I yang tak kalah gaul seperti gadis lain yang tak berkerudung. Jilbab belum menjadikanku sungkan untuk menyatakan rasa suka kepada lawan jenis, jilbab belum membuatku malu untuk mengobrol berdua dengan lawan jenis, jilbab belum membuatku malu tertawa lebar di depan orang banyak, dan jilbab belum membuatku risih memiliki banyak teman laki-laki saat itu.
Setelah jadian dengan Faiq, hidupku semakin terasa berarti. Aku semakin semangat untuk berangkat sekolah. Dua minggu setelah itu, nilai ulangan harianku pun semakin baik. Entah karena Faiq atau memang kebetulan materinya yang lebih mudah dari biasanya.
Setiap pagi dia menjemputku, pulang pun dia rela mengantarkanku, meski terkadang dia harus menungguku selesai bimbel. Hingga suatu hari dia jatuh sakit, tanpa ada rasa ragu aku ingin mendatangi rumah dia yang kurang lebih jaraknya 5 kilometer dari rumahku.
“Mau kemana kamu cha?” Tanya ibu kepadaku ketika aku mengeluarkan motor dari garasi.
“E…..e…mau ke rumah Tina,” jawabku gugup dan terpaksa aku menjawab dengan kebohongan, karena aku yakin beliau tidak mngizinkanku pergi ke rumah Faiq. Menurut ibu tidaklah pantas bagi seorang gadis pergi ke rumah laki-laki yang tidak memiliki hubungan darah dengan kita, apalagi bila laki-laki itu pacar kita, itu sangat tidak pantas.
“Iya, ke rumah Tina laju ke rumah Faiq!” Ibu menyangkal jawabanku dengan nada tinggi.
“Lanjutin aja, gak usah balik lagi ke rumah. Tinggal aja di rumah Faiq, nikah sekalian. Gak usah balik!” ibu menambahkan dengan suara yang lebih menekan suasana menjadi panas.
“Isssh, aku cuma ke rumah Tina, kok Ibu negative thinking tho?” tegasku mencoba mempertahankan kebohongan.
“Kamu kira Ibu gak tau? Ibu tau rencana kamu dari inbox handphone kamu,” Ibu menjawab sembari mengangkat tangan kanannya dan berniat menamparku.
“Mana handphone kamu? Kasih ke Ibu, masuk kamar sekarang juga. Mulai sekarang kamu gak boleh keluar rumah kecuali sekolah. Gak ada lagi bimbel buat kamu, buat apa bimbel kalau hasilnya cuma bikin kamu tambah pinter bohong?” Ibu melanjutkan amarahnya dengan ancaman terhadapku.
Tanpa berfikir panjang, aku langsung masuk kamar hijauku, ku tutup pintu kamar dengan emosiku, hingga hiasan yang tergantung di balik pintu jatuh dan pecah. Tak ku hiraukan hal itu. Kecewa, amarah, sedih, dan tangis membaur menjadi satu saat itu juga. Jikalau ketika itu aku berada di hutan, aku akan berteriak sekuat tenaga hingga meluap semua emosi dan kekecewaan ini. Khawatir terhadap kondisi Faiq masih melekat dalam pikiranku. Makin burukkah dia? Sedang apakah dia? Sudah makankah dia? Beribu pertanyaan muncul hanya terbendung dalam angan karena tidak ada handphone untuk menanyakan hal itu kepada Faiq.
Jalan fikirku tak terarah, hingga ketika adzan maghrib berkumandang, aku tak kunjung keluar kamar untuk mengambil air wudhu. Aku marah dengan Allah, karena Dia tak memberiku kelancaran ketika aku ingin menjenguk Faiq. Menurutku Allah tak adil kala itu. Ibu mengetuk pintu kamarku berulang kali. Pikir beliau aku sedang tidur. Beliau terus mengetuk pintu dan menyuruhku bangun untuk menunaikan shalat maghrib berjamaah. Aku tetap tak menghiraukan ajakannya. Seolah aku menuli mendengar ajakan beliau. Aku berpura-pura tidur ketika beliau membuka pintu kamarku.
“Icha, bangun! Udah maghrib,” ajak ibu. Aku tetap sok tuli. Ibu tetap sabar mengulang kalimat itu, hingga aku jenuh dan akhirnya membuka mata. Aku turuti kemauan beliau. Aku ambil air wudhu dan shalat berjamaah. Namun satu hal yang perlu di ingat, aku masih marah dengan Allah, aku shalat hanya karena ibuku.
Setelah shalat aku kembali berbaring dan kembali berangan dengan beribu pertanyaan tentang Faiq. Aku takut Faiq kecewa denganku karena aku tidak menjenguknya. Malam semakin larut. Jalan pikirku masih buntu, belum ada jalan keluar hingga dapat membuat hatiku kembali tenang.
Aku mendengar dering sms, handphoneku berbunyi di luar kamar. Kubuka pintu kamar perlahan agar ibu tak mendengar gerakanku.
“Astaga, ternyata hpku gak dibawa ibu?” gumamku lirih.
Penasaran merasuk dalam pikirku. Tanpa berfikir panjang aku ambil handphone itu dan ku buka inboxnya.
“Besok aku udah bisa berangkat, jangan sedih lagi ya J. Aku janji, aku gak akan sakit lagi insyaallah,” bunyi pesan dari Faiq.
“Yaa, sayang sekali aku gak bisa menyambut kedatanganmu setelah sakit di sekolah besok, soalnya aku ada acara keluarga. Maaf ya Faiq, mungkin lusa kita baru bisa ketemu,” pesan balasan untuk Faiq dariku. Itu hanya trik ku untuk memberi kejutan padanya. Menurutku dia akan cemas karena aku tidak bisa masuk sekolah dan ketika dia cemas, aku ingin memberi kejutan dengan kehadiranku esok.
Guratan senyum di bibirku mulai terukir. Semangatku kembali bangkit bagai bunga layu yang tersiram hujan sore. Hatiku bahagia dan kebahagiaan itu tak tergambarkan lagi. Kebahagiaan yang selalu aku rasakan ketika berada di dekat Faiq. Laki-laki yang aku sukai sejak pertama masuk SMA.
Hatiku telah kembali tenang. Segera ku hapus pesan tersebut dan ku kembalikan handphone pada tempat semula agar ibu tidak mengetahui jika aku sempat memegang hape setelah hape tersebut aku serahkan padanya. Kembali masuk kamar dengan langkah pelan agar ibu tidak mendengar langkahku. Laju tidur dan menunggu pagi untuk berangkat sekolah dan bertemu pujaan hatiku saat itu.
“Ash shalaatu khoirum minan naum,” kumandang adzan shubuh membangunkan lelapku.
Aku terbangun, dengan langkah pasti aku ambil air wudhu dan menunaikan shalat. Kali ini aku tidak berjamaah karena orang tuaku belum bangun. Aku tak tega membangunkan beliau, karena nampaknya beliau terlelap dengan nyenyak, mungkin karena kelelahan. Amarahku kepada Allah sepertinya sudah reda(astaghfirullahal’adhim, buat pembaca jangan meniru sikap ini ya). Setelah shalat seperti biasa aku membaca lembaran-lembaran wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah. Setelah itu ku tunaikan tugasku sebagai anak, yaitu mengurangi sedikit beban orang tua dengan menyapu lantai dan mencuci piring.
Jarum jam terus berputar, sebelum pukul 07.00 WIB aku harus sudah tiba di sekolah. Sedikit tergesa-gesa aku mandi dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Setelah sudah siap, aku berangkat tanpa sarapan dan tidak ada harapan untuk dijemput Faiq, karena aku yakin kondisi dia secara kesuluruhan belum membaik. Aku berangkat dengan motor matic hijauku.
Lima belas menit setelah itu aku tiba di sekolah. Aku berlari menuju kelas, ketika sampai di depan pintu, aku tidak melihat Faiq di dalam kelas.
“Faiq udah berangkat belum vi?” aku menanyakan Faiq kepada Vivi.
“Udah kok, tapi gak tau kemana. Tadi sempat aku lihat dia jalan bareng Bella ke arah kantin. Tumben gak bareng kamu cha?” jawaban vivi dilanjutkan dengan pertanyaan yang sedikit membuat hatiku perih.
“Emmm, hehe, emang harus selalu bareng ya?” tegasku sembari tersenyum.
Hatiku sedikit kacau kala itu. Pertanyaan-pertanyaan hati datang menghampiri.
“Apa yang mereka lakukan terhadapku? Apakah mereka mencoba menusukku dari belakang? Apakah Faiq melakukan ini karena aku tidak menjenguknya ketika dia sakit? Ah, tapi kan mereka sudah sering pergi bareng karena mereka teman karib. Lagi pula Bela itu sahabatku, gak mungkin dia tega melakukan hal ini. Faiq juga sudah berulang kali bilang padaku kalau kedekatan dia dengan Bela hanya sebatas teman seorganisasi saja. Tapi kemungkinan-kemungkinan itu bisa terjadi,” gumamku dalam hati. Tapi kecemasanku belum juga hilang.
Akhirnya aku langkahkan kaki ini menuju kantin untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang gak jelas asalnya.
“Faiq???????” mulutku reflek menyebut nama itu ketika kudapati Faiq tengah memegang tangan Bela di kursi kantin.
Aku berlari tanpa arah. Air mataku tak bisa lagi aku bendung dan kututupi. Aku benar-benar menelan ludah pahit. Menerima kenyataan dengan perasaan yang begitu menyesakkanku saat kulihat tingkah mereka berdua. Faiq mencoba mengejar langkahku. Dia mencoba menjelasakan semuanya dan meminta maaf, tapi hal ini sangat menyakitkan bagiku hingga sangat sulit pula bagiku untuk memaafkannya. Meskipun dia pacar ke empat bagiku, tapi dia adalah pacar pertama yang menghianatiku. Semangatku telah pupus, hatiku hancur.
“Tolong dengerin penjelasan aku cha! semua gak seperti yang kamu kira!” Faiq mencoba menjelaskan padaku.
“Los!Itu urusan kamu. Udah lah sana pergi. Lagian kamu juga gak berharap aku berangkat kan hari ini. Makanya setelah aku kasih tau kalo aku gak berangkat, langsung kamu manfaatin waktu itu.” aku mencoba tak acuh padanya.
“Faiq, dipanggil Pak Ahmad. Kamu suruh ke ruangannya sekarang,” pemberitahuan Adi memecah perdebatan kami.
“Sana pergi! gak usah hirauin aku lagi,” sambil berjalan meninggalkan Faiq ku lontarkan kalimat itu. Ku lihat faiq pergi ke arah kantor untuk memenuhi panggilan Pak Ahmad pelatih sepak bolanya.
Kebetulan hari itu semua guru rapat, jadi tidak ada pelajaran yang terisi. Jalanku tanpa arah. Hingga ku dapati tempat wudhu. Awalnya aku berniat mencuci mukaku yang terasa kering oleh panasnya hati ini, tapi ketika ku sentuh air itu, hatiku bergetar, air mataku kembali menetes. Entah kenapa tiba-tiba hati ini mengingat-Nya, ku ingat semua kesalahan yang aku lakukan, ketika aku menuntut hakku kepada Allah, sedangkan kewajiban belum aku tunaikan. Aku ingat ketika aku mencoba membohongi orang tuaku hanya demi seseorang yang akhirnya menyakiti hatiku. Aku baru sadar, ternyata telah mengecewakan orang yang telah tulus mencintaiku, aku telah melupakan Sang Maha Cinta yang telah memberikan nafas hingga detik ini.Aku telah membuat dzat yang Maha Pencemburu mencemburui aku. Hatiku tersa kering bukan karena tidak ada Faiq di sampingku, tapi karena aku telah menjauh dari-Nya.
“Ya Rabb, ampuni aku, ampuni aku, ampuni aku, ampuni aku. Astaghfirullahal‘adhim.” Tak henti-hentinya aku beristighfar kepada dzat Maha Pengampun. Aku berwudhu dan kulaksanakan shalat dhuha dengan segala usaha agar shalat ini khusyu.
“Allahu akbar,” takbir demi takbir terucap dari bibirku dengan pasrah. Ku merasa telah menemukan cinta sejatiku yang telah lama aku lupakan.
Aku ingat akan kefasikanku. Aku telah mengidap penyakit syirkul mahabbah (kesyirikan dalam cinta). Aku telah menghianati sifat Maha Pengasih-Nya dengan lebih mementingkan kepada selain-Nya.
Aku berharap ini adalah hari terakhirku dalam lembah kefasikan. Setelah itu terpatri dalam hatiku niat untuk menjadi seorang muslim yang mu’min. Menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Menjadi gadis yang berjilbab fisik dan hati. Aku ingin jilbab ini dapat membalut rasa malu ku, menjagaku dari fitnah dan dapat membedakan antara yang muslim dengan non-muslim.
Hari itu aku hanya terdiam di mushala sekolah yang sedikit tidak terurus hingga bel tanda berakhirnya jam terakhir berbunyi. Aku langkahkan kaki ini keluar dari mushala.
“Icha, maafin aku. Tadi tu aku cuma curhat sama Faiq, gak lebih,” Bela menghampiriku dan mencoba menjelaskan. Aku tak menghiraukannya. Bagiku dia duri dari mawar kesayanganku.
Aku pulang dengan kegalauan hati. Ya Rabb, betapa besar dosa yang telah aku lakukan? Penyesalan ini murni hanya karenaMu. Faiq bukan urusanku lagi.
Ku lihat ibu sedang menyiapkan makan siang, ku cium tangan beliau. Tanpa sungkan aku meminta maaf kepada beliau atas segala kesalahan yang aku lakukan. Ku ceritakan kejadian yang telah aku alami di sekolah tadi. Ya, itu memang kebiasaan aku setiap pulang sekolah. Untaian nasehat beliau sampaikan dengan penuh kasih sayang kepadaku.
“Ya udah, sekarang shalat terus makan. Setelah itu ibu ingin mengajakmu ke rumah kawan Ibu.”
“Ok !” jawabku singkat dengan senyum manisku.
Setelah selesai shalat Dhuhur aku memenuhi ajakan Ibuku untuk berkunjung ke rumah teman beliau.
“Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Darul Hikmah” Ibu membelokkan laju motor ke sebuah asrama yang pernah aku impikan.
“Asrama tahfizh bu?” tanyaku ketika ibu menghentikan laju motornya.
“Iya, ayo masuk” ibu menarik lenganku.
Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dalam anganku. Ini aneh, dulu ketika lulus SMP aku ingin masuk asrama itu, tapi Ibu yang melarangku masuk asrama itu,hingga aku merasa putus asa, dan keputus asaanku itu yang menyebabkan hilangnya rasa malu ku ketika duduk berdua dengan lawan jenis, rasa malu ketika tertawa lebar dan kejelekan-kejelekan lainnya, tapi kenapa hari ini justru Ibu yang mengajakku masuk gerbang yang sudah lama aku rindukan?
“Assalamu’alaikum,” ibu mengucap salam. Jantungku berdebar kencang, feelingku sih ini akan berdampak positif bagiku.
“Wa’alaikumussalam warahmah, eh mba, waaah Icha juga ikut. Silakan masuk?” Ummy asrama menyambut kami dengan ramah. Tapi ada yang janggal. Mba ? seorang ummy asrama tahfizh memanggil ibuku dengan sebutan ‘mba’ ?
“Gimana nih Icha? katanya dari dulu pengen masuk asrama tahfizh. Udah siap belum sekarang?” Ummy menyapaku dengan kata-kata yang tak pernah aku duga.
“Ha? Kan Ibu gak……..” kalimatku terpotong sangkalan Ibu.
“Sssst.…Itu kan dulu ketika Ibu masih jarang ikut pengajian rutin di Masjid cha’ dan Ibu juga baru tau ternyata mba Jazil temen SMA ibu adalah pemilik asrama tahfizh ini,” jelas ibu.
“Jadi, kalau keinginan kamu masih terpendam, kamu mulai minggu depan bisa tinggal disini. Untuk sekolah, Ibu rasa kamu lebih tau bagaimana cara mengatur waktu dan jarak sekolah justru lebih dekat bukan ?” ibu menambahkan.
“Gimana Icha?” Ummy mendesakku untuk menjawab.
Tanpa berfikir panjang aku mengangguk dan memeluk ibuku.
“makasih Ibu,” ku ucap terimakasih kepada ibuku.
Takbir dan tahmid tak hentinya aku ucap dalam hati. Allahu akbar, Ku merasakan getaran cinta dari Sang Maha Cinta.
0 komentar:
Posting Komentar