07
Belajar Bahagia Melalui Garam
Mentari yang sayu menyapa senja yang hening. Perlahan mentari berjalan meninggalkan menutup hari. Terbias warnanya keemasan anggun di ufuk barat. Seolah mengucapkan salam sampai jumpa bagi Kotagajah.
Sesosok gadis berwajah kusut terlihat berjalan tertatih diujung jalan sana dengan air mata yang terus mengalir. Ternyata dia kawan sekelasku yang ditinggal ayahnya menghadap ke Rahmatullah seminggu yang lalu, sebut saja Rara. Tatapan matanya menyimpan sejuta resah yang terpendam. Dari raut wajahnya tersirat pesan kesedihan yang menghiasinya. Air matanya yang tak kunjung usai menegaskan keperihan hatinya.Tanpa ragu aku hampiri dia.
“Kesedihanmu seharusnya sudah kau hapus. Percayalah ayahmu pasti bahagia disisi-Nya. Doakan beliau, beliau tidak butuh ratapan macam ini, tetesan air mata tanpa doa justru sangat menyiksa beliau. Ayolah Rara kembalikan semangatmu!”
Ia terus berjalan lurus mencari sesuatu. Ia menghiraukanku.
“Tinggalin aku sendiri, aku cuma mau pergi ke suatu tempat. Jangan khawatir,” dia menahanku untuk mengikutinya.
Aku tetap mengikutinya, karena aku khawatir kesedihannya akan membutakan jalan pikirnya dan akhirnya dia melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan.Aku terus berjalan membelakanginya dengan jarak agak jauh tanpa sepengetahuan Rara. Hingga sampai di suatu gubuk di ujung desa, ia menghentikan langkahnya sejenak. Menatap sekelilingnya mencari tahu sesuatu. Ditadahkan kedua tangannya ke langit memohon sesuatu. Jilbabnya yang kusut telah lembab dengan air mata. Ia menegakkan pandangannya ke langit bak memohon sesuatu dengan khusyu’. Beberapa menit kemudian ia berjalan menuju gubuk lapuk itu dan memasukinya.
Tampak sosok pak tua sedang duduk santai di atas kardus. Wajahnya terpancar kebahagiaan yang nyata. Senyum terus terukir di kedua bibirnya saat bertemu Rara. Rara sudah sangat bingung, harus kemana lagi ia menemukan kebahagiaan. Kematian ayahnya membuat ia stres dan menangis. Ia bingung mencari solusinya. Hanya tangisan sajalah yang mampu meredakan kegundahannya untuk sementara. Dengan air mata yang masih terus mengalir ia mendekati pak tua itu. Berharap ada solusi yang akan ia temukan.
“Wahai pak tua, berilah aku solusi agar bisa merelakan ayahku, aku sedih tanpa beliau. Hanya beliau yang dapat membuat pipi ini melesung tersenyum?” tanyanya dengan penuh harap. Binar-binar matanya terus mengharap sebuah jawaban. Pak tua itu hanya tersenyum manis dan ringan setelah mendengarkan keluhan itu. Akhirnya pak tua itu mengajaknya ke dapur. Rara hanya merasa keheranan sembari mengusap air matanya, namun baginya itu adalah jalan sehingga tak ada pilhan selain mengikuti instruksi pak tua.
Mereka berdua berjalan pelan menuju ruangan dapur. Beberapa menit kemudian pak tua itu menuangkan air ke dalam gelas. Rara masih tertegun heran penuh dengan pertanyaan. Kemudian pak tua itu menuju laci dapur dan mengambil segenggam garam lalu ia mencampurnya dengan segelas air minum tadi.
“Minum ini nak,” ucap pak tua itu sambil menyodorkan air putih yang sudah di campur dengan garam, dengan perasaan aneh Rara tak berkomentar dan langsung meneguk air minum itu.
“Uh… Cuh….Cuh… Asin…….!!” gerang Rara memuntahkan air minum itu. Pak tua hanya tertawa kecil saja tanpa sebuah kata yang terucap. Rara masih membersihkan sisa-sisa rasa asin dari rongga mulutnya. Setelah itu pak tua mengajaknya keluar rumah. Untuk kedua kalinya Rara hanya bisa nurut dan ikut.
Di depan rumah sana terdapat sebuah sumur yang airnya sangat jernih dan banyak. Mereka berdua berdiri tepat di sisi sumur itu. Perlahan pak tua itu mengeluarkan segenggam garam lagi dari kantong bajunya. Rara masih tertegun tentang apalagi yang akan dilakukan pak tua sekarang. Perlahan pak tua memasukkan segenggam garam itu ke dalam sumur, dan kemudian ia mengambil airnya.
“Minum ini nak,” pinta pak tua kepada Rara. Rara langsung menerima air itu dan langsung meneguknya hingga habis. Untuk yang kesekian kalinya pak tua itu tersenyum kembali dan memandangi Rara dengan penuh bahagia.
“ Apa yang kamu rasakan nak?” tanya pak tua.
“Sudah tentu ini tidak asin pak, ini tawar sehingga aku mampu meminum dan menghabisakannya.” Jawabnya lega.
“Tepat !” jawab pak tua.
“Saat kau meminum satu gelas air dicampur segenggam garam terasa asin, saat kau meminum air dari sumur yang dicampur dengan segenggam garam kau tidak merasakan asin. Apa kau bisa mengambil pelajarnya?” tanya pak tua. Rara hanya menggelengkan kepalanya belum mengerti dengan kata-kata pak tua. Apa hubungannya masalah yang ia hadapi,dengan air dan garam. Kemudian pak tua itu meneruskan perkataannya.
“Garam itu di ibaratkan masalahmu, dan air serta tempatnya adalah hatimu. Di mana semakin besar tempatnya maka rasa garam itu tidak akan terasa asin. Rasa asin itu ada karena air dan tempatnya yang kecil. Begitu juga dengan masalahmu. Sebenarnya masalahmu itu tidak terlalu besar, namun tempat yang menampungnya atau hatimu terlalu kecil sehingga terasa sangat menyesakkan masalah itu. Jikalau kau membesarkan tempatnya dengan lapang dada dan sabar niscaya masalah itu tak akan tarasa mengganggumu dan merisaukanmu. Mulai sekarang, besarkan hatimu dengan lapang dada dan sabar supaya masalah itu seperti garam yang dimasukan kedalam sumur. Tidak terasa asin karena besarnya tempat untuk menampung,” jawab pak tua bijak. Rara tertunduk bahagia setelah mendapatkan jawaban yang selama ini ia cari.
Setelah itu Rara tak merasakan keperihan hidup yang berarti lagi. Rara belajar merelakan ayahnya dengan menerima kenyataan dengan hati yang lapang, karena rumus garam dengan sabar dan lapang dada semua akan berlalu dan taratasi.
TAMAT